Laman

Sabtu, 25 Mei 2013

PP No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Standar Nasional Pendidikan

Pada tanggal 7 Mei 2013 lalu, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, telah menandatangani sebuah peraturan baru yaitu  Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Berdasarkan konsideran dalam peraturan ini, perubahan peraturan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan perlu diselaraskan dengan dinamika perkembangan masyarakat, lokal, nasional, dan global guna mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, serta perlunya komitmen nasional untuk meningkatkan mutu dan daya saing bangsa.
Jika Anda ingin mengetahui isi PP No. 32 Tahun 2013 ini, silahkan klik tautan di bawah ini:

Minggu, 19 Mei 2013

Kepemimpinan Guru (Teacher Leadership)

Kalau kita berbicara tentang kepemimpinan pendidikan, pada umumnya akan tertuju pada peran dan tugas seorang kepala sekolah. Pemahaman dan persepsi seperti ini bisa dimaklumi karena hampir sebagian besar penelitian dan literatur yang membahas tentang kepemimpinan pendidikan lebih cenderung membicarakan tentang kepemimpinan kepala sekolah. Sementara penelitian dan literatur yang mengkaji secara spesifik tentang kepemimpinan guru tampaknya masih relatif terbatas.
Lantas, apa Kepemimpinan Guru (Teacher Leadership) itu? York-Barr and Duke (The Institute for Educational Leadership’s, 2008) mengemukakan rumusan kepemimpinan guru yang sejalan dengan perubahan peran guru dalam konteks perkembangan pendidikan saat ini, bahwa:
“Teacher leadership is the process by which teachers, individually or collectively, influence their colleagues, principals, and other members of the school communities to improve teaching and learning practices with the aim of increased student learning and achievement. Such team leadership work involves three intentional development foci: individual development, collaboration or team development, and organizational development.”
Dari pengertian di atas tampak bahwa kepemimpinan guru pada dasarnya merupakan suatu proses untuk mempengaruhi orang lain yang didalamnya berisi serangkaian tindakan atau perilaku tertentu terhadap invididu yang dipengaruhinya. Kepemimpinan guru tidak hanya sebatas pada peran guru dalam konteks kelas pada saat berinteraksi dengan siswanya tetapi menjangkau pula peran guru dalam berinteraksi dengan kepala sekolah dan rekan sejawat, dengan tetap mengacu pada tujuan akhir yang sama yaitu terjadinya peningkatan proses dan hasil pembelajaran siswa.
Kepemimpinan guru memfokuskan pada 3 dimensi pengembangan, yaitu: (1) pengembangan individu; (2) pengembangan tim; dan (3) pengembangan organisasi.
  1. Dimensi pengembangan individu merupakan dimensi utama yang berkaitan dengan peran dan tugas guru dalam memanfaatkan waktu di kelas bersama siswa. Disini guru dituntut untuk menunjukkan keterampilan kepemimpinannya dalam membantu siswa agar dapat mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya, sejalan dengan tahapan dan tugas-tugas perkembangannya. Melalui keterampilan kepemimpinan yang dimilkinya, diharapkan dapat menghasilkan berbagai inovasi pembelajaran, sehingga pada gilirannya dapat tercipta peningkatan kualitas prestasi belajar siswa.
  2. Dimensi pengembangan tim menunjuk pada upaya kolaboratif untuk membantu rekan sejawat dalam mengeksplorasi dan mencobakan gagasan-gagasan baru dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran, melalui kegiatan mentoring, coaching, pengamatan, diskusi, dan pemberian umpan balik yang konstruktif. Dimensi yang kedua ini berkaitan upaya pengembangan profesi guru.
  3. Sedangkan dimensi organisasi menunjuk pada peran guru untuk mendukung kebijakan dan program pendidikan di sekolah (dinas pendidikan), mendukung kepemimpinan kepala sekolah (administrative leadership) dalam melakukan reformasi pendidikan di sekolah serta bagian dari peran serta guru dalam upaya mempertahankan keberlanjutan (sustanability) sekolah.
Ketiga dimensi di atas memberikan gambaran tentang: (1) peran guru dalam memimpin siswanya, (2) peran guru dalam memimpin rekan sejawatnya; dan (3) peran guru dalam memimpin komunitas pendidikan yang lebih luas.
Di Amerika, gagasan tentang kepemimpinan guru (teacher leadership) sudah berlangsung sejak lama, yang terbagi ke dalam 3 (tiga) gelombang.
  1. Gelombang pertama, kepemimpinan guru terkungkung dalam hierarki organisasi formal dan hanya berkutat dalam fungsi-fungsi pengajaran, di bawah kendali ketat dari “atasan guru”. Di sini, guru hanya dipandang sebagai pelaksana keputusan atasan.
  2. Gelombang kedua, kepemimpinan guru telah lepas dari hierarki organisasi konvensional. Di sini, telah terjadi pemisahan antara kepemimpinan dengan fungsi pengajaran, yakni dengan dibentuknya semacam tim pengembang kurikulum secara formal. Walaupun demikian, kepemimpinan guru masih di bawah kendali tim pengembang kurikulum. Tugas guru adalah mengimplementasikan bahan-bahan yang telah disiapkan oleh tim pengembang kurikulum. Pendekatan yang digunakan pada gelombang kedua ini sering disebut sebagai “remote controlling of teachers”.
  3. Gelombang ketiga, konsep kepemimpinan guru telah mengintegrasikan pengajaran dengan kepemimpinan yang tidak bersifat formal. Kepemimpinan guru dipandang sebagai sebuah proses dengan memberikan kesempatan yang luas kepada guru untuk mengekspresikan kapabilitas kepemimpinannya. Konseptualisasi kepemimpinan guru dibangun atas dasar profesionalisme dan kesejawatan. (disarikan dari James S. Pounder, 2006).
Trend kepemimpinan guru di atas, dalam batas-batas tertentu tampaknya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di  Indonesia. Penerapan konsep Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) yang digulirkan sejak awal masa reformasi yang kemudian diikuti dengan gerakan profesionalisasi guru yang saat ini sedang gencar digaungkan, tampaknya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pergeseran konsep dan makna kepemimpinan guru di Indonesia.
Sesungguhnya banyak model dan gaya kepemimpinan yang bisa diterapkan guru dalam mewujudkan kepemimpinannya. Merideth (2000) menawarkan model kepemimpinan guru dengan apa yang disebut REACH, akronim dari:
  • Risk-Taking. Guru berusaha mencari tantangan dan menciptakan proses baru.
  • Effectiveness. Guru berusaha melakukan yang terbaik, peduli terhadap pertumbuhan dan pengembangan profesinya dan bekerja dengan hati.
  • Autonomy. Guru menampilkan inisiatif, memiliki pemikiran yang independen dan bertanggung jawab.
  • Collegiality. Guru membangun kemampauan komunitasnya dan memiliki keterampilan komunikasi interaktif.
  • Honor. Guru dapat menunjukkan integritas, kejujuran, dan menjaga etika profesi.
Selain itu, guru dapat pula menerapkan gaya Kepemimpinan Transformasional sebagaimana digagas oleh Bass, dengan karakteristik yang dikenal dengan sebutan 4 I, yaitu: idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individual consideration.
  1. Idealized influence. Guru merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan sebagai teladan, dapat dipercaya, dihormati dan mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan peningkatan mutu pembelajaran.
  2. Inspirational motivation: guru dapat memotivasi seluruh siswa dan sejawatnya untuk memiliki komitmen terhadap visi organisasi dan mendukung semangat team dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan di sekolah.
  3. Intellectual Stimulation: guru dapat menumbuhkan kreativitas dan inovasi dengan mengembangkan pemikiran kritis dan pemecahan masalah untuk menjadikan pembelajaran ke arah yang lebih baik.
  4. Individual consideration: guru dapat bertindak sebagai pelatih dan penasihat, serta menyediakan umpan balik yang konstruktif bagi siswa dan sejawatnya.
Bryman (1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership). Disebut sebagai penerobos karena pemimpin semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya. (Dwi Ari Wibawa, 2013)
Dari berbagai studi yang dilakukan, kepemimpinan transformasional telah terbukti dapat memberikan pengaruh terhadap inovasi dan kreativitas. Kepemimpinan Transformasional juga memberi pengaruh positif terhadap usaha bawahan dan kepuasan serta dapat meningkatkan perilaku etik. (James S. Pounder, 2006).
Di lain pihak, Charles C. Manz & Henry P. Sims Jr (Martani Huseini, 2010) mengetengahkan model kepemimpinan yang dikenal dengan sebutan Superleadership. Model Superleadership sangat diperlukan dalam organisasi yang berbasis informasi dengan perubahan yang sangat cepat  seperti sekarang ini.
Ide dasar superleadership adalah: (1) mengarahkan individu-individu untuk  menjadi “self leader”; (2) mengarahkan tim untuk menjadi “self lead”: dan (3) menyarankan ide untuk mengembangkan  budaya “self leadership” melalui organisasi.
Superleadership berkeyakinan bahwa seorang pemimpin yang sukses adalah bila dia bisa menciptakan pemimpin yang baik. Seorang pemimpin Superleader berusaha membimbing orang lain untuk memimpin dirinya sendiri dan membantu pengikutnya untuk mengembangkan kemampuan “self leadership”nya untuk memberikan kontribusi yang maksimal bagi organisasi.  Seorang Pemimpin Superleader akan melipat gandakan kekuatannya melalui kekuatan orang lain dan mendorong pengikutnya untuk memiliki inisiatif sendiri, rasa tanggung jawab,rasa percaya diri, penyusunan tujuan sendiri, berfikir positif dan mengatasi masalahnya sendiri.
Pemimpin Superleader senantiasa mendorong pengikutnya untuk melaksanakan tanggung jawabnya dari pada memberikan perintah dan memberi keyakinan bahwa pengikutnya memerlukan informasi dan ilmu pengetahuan untuk melatih “self leadership”nya.
Salah satu hambatan terbesar untuk menumbuhkan kepemimpinan guru yaitu masih mendominasinya penerapan model kepemimpinan “top-down” di sebagian besar sekolah. Guru masih seringkali diposisikan sebagai bawahan yang harus tunduk dan taat pada atasan secara taklid.
Oleh karena itu, untuk menumbuhkan kepemimpinan guru memerlukan :
  • Pemberdayaan dan dorongan kepada guru untuk menjadi pemimpin dan mengembangkan keterampilan kepemimpinannya.
  • Penyediaan waktu dan kesempatan bagi guru agar dapat bekerja menjalankan kepemimpinannya, baik untuk kepentingan pengembangan profesi, kerja kolaboratif, perencanaan bersama, dan membangun jaringan guru.
Dalam konteks ini, tentu dibutuhkan dukungan dari semua pihak, terutama dari kepala sekolah untuk rela berbagi kekuasaan dan kewenangan, tanpa harus merasa khawatir akan kehilangan identitas kewibawaannya. Kepala sekolah harus memiliki keyakinan bahwa setiap guru pada dasarnya memiliki potensi kepemimpinan, dan apabila diberi kesempatan untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan potensi kepemimpinannya, mereka bisa tampil sebagai pemimpin-pemimpin hebat, yang dapat dimanfaatkan untuk  semakin memperkuat eksistensi sekolah sekaligus melengkapi kepemimpinan administratif yang menjadi tanggung jawabnya.

Antara Pembelajaran Kolaboratif dengan Pembelajaran Kooperatif

Dalam bahasa Indonesia, kata kolaborasi dan kooperasi cenderung diartikan dalam makna yang sama yaitu kerjasama. Menurut John Myers (1991) kata kolaborasi berasal dari bahasa Latin dengan memfokuskan pada proses, sedangkan kooperasi bersumber dari Amerika yang lebih menekankan pada hasil. Sementara itu, menurut Ted Panitz (1996), istilah kolaborasi menunjuk pada filsafat interaksi dan gaya hidup personal, sedangkan kooperasi lebih menggambarkan sebuah struktur interaksi yang didesain untuk memfasilitasi pencapaian suatu hasil atau tujuan tertentu.
Kolaborasi mengasumsikan pentingnya kerjasama (koperasi) yang dibangun berdasarkan konsensus anggotanya, bukan kompetisi individual diantara anggota kelompok. Dalam kelompok akan terjadi pembagian peran, tugas dan wewenang dari setiap anggota kekompok. Masing-masing anggota kelompok berusaha saling menghargai dan memberikan kontribusi kemampuannya terhadap kegiatan kelompok.
Ketika seorang individu (baca: guru) menerapkan filosofi ini ke dalam kelas, keluarga atau komunitas kelompok lainnya untuk kepentingan pembelajaran maka itulah yang disebut pembelajaran kolaboratif. Jadi, pembelajaran kolaboratif  pada dasarnya adalah sebuah filosofi personal, dan bukan hanya sekedar teknik dalam pembelajaran di  kelas (Ted Panitz , 1996).
Wikipedia (2013) merumuskan Pembelajaran Kolaboratif  (Collaborative Learning) sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih orang belajar secara bersama-sama, dengan memanfaatkan sumber daya dan keterampilan satu sama lain (meminta informasi satu sama lain, mengevaluasi ide-ide satu sama lain, memantau pekerjaan satu sama lain, dll.). Sementara, pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses pembelajaran yang didesain untuk membantu siswa agar dapat berinteraksi dan bekerjasama secara kolektif, melalui tugas-tugas terstruktur guna mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif dikembangkan ke dalam berbagai teknik, seperti: Think Pair Share, Jigsaw, STAD, TGT dan sebagainya.
Tradisi pembelajaran kolaboratif berasal dari Inggris, para guru Bahasa Inggris berusaha mengeksplorasi cara-cara untuk membantu siswa agar dapat berperan lebih aktif dalam proses pembelajarannya, khususnya dalam mengkaji suatu literatur. Guru menganalisis percakapan setiap siswanya ketika sedang menelaah atau merespon bagian literatur.   Sementara pembelajaran kooperatif berkembang di Amerika dengan bersumber dari pemikiran John Dewey tentang pentingnya belajar sosial dan pemikiran Kurt Lewin  tentang dinamika kelompok. (John Myers, 1991).
Untuk melihat perbedaan dan persamaan dari kedua konsep pembelajaran ini, Matthews, et.al. (1995)  memerincinya seperti tampak dalam tabel berikut ini :
Perbedaan
Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran Kolaboratif
Para siswa menerima latihan keterampilan sosial dalam kelompok kecil.
Ada keyakinan bahwa para siswa telah memiliki keterampilan sosial yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran
Aktivitas-aktivitas terstruktur yang dirancang guru dan masing-masing siswa memiliki peran khusus.
Siswa mengatur dan menegosiasikan usahanya sendiri.
Guru mengamati, mendengarkan dan melakukan intervensi dalam kelompok jika diperlukan.
Aktivitas tidak dimonitor oleh guru. Ketika ada pertanyaan yang ditujukan kepada guru, guru membimbing siswa-siswa untuk menemukan informasi yang diperlukan.
Siswa menyerahkan tugas pada akhir pelajaran untuk dievaluasi.
Siswa menyimpan draft  untuk dilengkapi pada pekerjaan selanjutnya.
Guru melakukan asesmen kinerja siswa secara individual maupun kelompok
Siswa melakukan asesmen kinerja  secara individual maupun kelompok, berdasarkan konsensus kelompok kecil, kelas (pleno), maupun pertimbangan masyakat keilmuan pada umumnya
Selain memiliki perbedaan, kedua konsep pembelajaran ini  juga memiliki persamaan, yakni:
  • Menekankan pentingnya pembelajaran aktif
  • Peran guru sebagai fasilitator
  • Pembelajaran adalah pengalaman bersama antara  siswa dan guru
  • Meningkatkan keterampilan kognitif tingkat tinggi
  • Lebih banyak menekankan tanggungjawab siswa dalam proses belajarnya
  • Melibatkan situasi yang memungkinkan siswa dapat mengemukakan idenya dalam kelompok kecil.
  • Membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan sosial dan membangun tim.

5 Cara Guru Belajar

Perubahan paradigma pendidikan yang cukup dramatis pada saat sekarang ini, mau tidak mau menuntut para guru untuk dapat menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan perubahan yang ada. Salah satu cara yang efektif agar dapat menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan perubahan yang ada yaitu melalui belajar secara terus menerus. Dengan demikian, tuntutan untuk belajar tidak hanya terjadi pada siswa yang dibelajarkannya, tetapi guru itu sendiri pun justru dituntut untuk senantiasa belajar tentang bagaimana mengajar yang baik. Banyak cara yang bisa dilakukan guru untuk belajar, diantaranya:
  1. Guru belajar dari praktik pembelajaran yang dilakukannya. Cara belajar guru yang pertama ini dilakukan melalui usaha untuk senantiasa memonitor, menganalisis dan melakukan refleksi atas setiap praktik pembelajaran yang dilakukannya. Melalui cara seperti ini guru akan memperoleh sejumlah pengetahuan dan pemahaman baru (the best practice) tentang siswa, sekolah, kurikulum, dan berbagai strategi pembelajaran. Kegiatan Penelitian Tindakan Kelas (1, 2) merupakan salah satu bentuk cara belajar guru semacam ini (Cochran-Smith and Lytle, 1993).
  2. Guru belajar melalui interaksi dengan guru lain. Cara belajar guru yang kedua dapat dilakukan melalui interaksi dengan guru lain, baik secara formal maupun informal. Secara formal, misalnya melalui kegiatan mentoring (tutorial) yang dilakukan oleh guru senior yang berpengalaman terhadap guru baru (novice), berdasarkan penugasan secara resmi dari sekolah. Dalam hal ini, guru baru dapat menimba berbagai pengetahuan dan keterampilan dari mentornya (Feiman-Nemser and Parker, 1993). Sedangkan secara informal dapat dilakukan melalui kegiatan pembicaraan yang tidak resmi, misalnya pada saat berada di ruang guru, halaman sekolah dan tempat-tempat lainnya yang sifatnya tidak resmi. Bentuk lain belajar melalui interaksi dengan guru lain adalah melalui kegiatan MGMP/MGBK dan pertemuan profesional lainnya, dimana guru dapat saling belajar dan berbagi pengetahuan. Kegiatan supervisi pembelajaran, baik oleh guru senior, kepala sekolah maupun pengawas sekolah, termasuk ke dalam kategori cara belajar ini. Demikian juga, program lesson study merupakan salah satu bentuk cara belajar guru melalui interaksi dengan guru lain.
  3. Guru belajar melalui ahli/konsultan. Cara yang ketiga, guru dapat belajar melalui ahli/konsultan. Dalam kegiatan ini, sekolah menyediakan seorang atau beberapa orang ahli/konsultan khusus dari luar untuk membelajarkan para guru di sekolah. Secara berkala, ahli/konsultan tersebut dihadirkan di sekolah untuk membelajarkan guru, misalnya dalam bentuk workshop atau layanan konsultasi. Melalui cara ini, para guru akan memperoleh pemahaman tentang berbagai inovasi pendidikan sekaligus memperoleh bimbingan dalam penerapannya. Dalam konteks ini, pengawas sekolah (educational supervisor) seyogyanya dapat diposisikan sebagai tenaga konsultan yang dibutuhkan untuk kepentingan peningkatan kemampuan guru.
  4. Guru belajar melalui pendidikan lanjutan dan pendalaman. Asumsi yang mendasari cara yang keempat ini, bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang diperoleh seseorang, semakin lebih baik pula tingkat kemampuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan kemampuan guru, seyogyanya guru didorong untuk dapat melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi atau mengikuti pendidikan pendalaman akademik. Pendidikan lanjutan artinya guru melanjutkan studi sesuai dengan bidangnya, misalkan seorang guru Bimbingan dan Konseling yang sudah memiliki tingkat pendidikan S1, kemudian dia melanjutkan lagi studinya ke S2 Program Magister Bimbingan dan Konseling, dan seterusnya. Sedangkan pendidikan pendalaman, bisa dilakukan melalui kursus-kursus dan pendidikan alternatif yang relevan. Misalnya, guru Ekonomi yang berlatarbelakang S1 Pendidikan Ekonomi, untuk pendalaman bidang akademiknya dia bisa mengikuti pendidikan S1 alternatif di Fakultas Ekonomi. Di samping memperoleh kemampuan yang lebih baik, kegiatan pendidikan lanjutan berkolerasi pula dengan tingkat penghasilannya (Renyi, 1996). Di Amerika, kegiatan pendidikan pendalaman banyak dilakukan pada musim summer atau setelah selesai jam sekolah. Demikian pula, di negara-negara tertentu, guru-guru banyak mengikuti program in service trainning dengan dititipkan (pencangkokan) di Perguruan Tinggi untuk beberapa lama.
  5. Guru belajar melalui cara yang terpisah dari tugas profesionalnya. Cara yang kelima ini, guru belajar tentang hal-hal yang sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan tugas-tugas profesionalnya, seperti pengembangan kemampuan intelektual dan moral terkait perannya sebagai orang tua, mengikuti pelatihan sebagai pengurus organisasi di masyarakat, pelatihan kepemimpinan dalam bisnis dan sebagainya. “They learn about nondidactic forms of instruction…”, demikian dikemukan oleh Lucido (1988). Meski tidak berhubungan langsung dengan tugas profesionalnya, beberapa hasil-hasil pelatihan tersebut dapat ditransfer untuk kepentingan penguatan kemampuannya sebagai guru.

Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah

Kepemiminan merupakan proses dimana seorang individu mempengaruhi sekelompok individu untuk mencapai suatu tujuan. Untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif, seorang kepala sekolah harus dapat mempengaruhi seluruh warga sekolah yang dipimpinnya melalui cara-cara yang positif untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah. Secara sederhana kepemimpinan transformasional dapat diartikan sebagai proses untuk merubah dan mentransformasikan individu agar mau berubah dan meningkatkan dirinya, yang didalamnya melibatkan motif dan pemenuhan kebutuhan serta penghargaan terhadap para bawahan.
Terdapat empat faktor untuk menuju kepemimpinan tranformasional, yang dikenal sebutan 4 I, yaitu : idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individual consideration.
  1. Idealized influence: kepala sekolah merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan sebagai panutan bagi guru dan karyawannya, dipercaya, dihormati dan mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan sekolah.
  2. Inspirational motivation: kepala sekolah dapat memotivasi seluruh guru dan karyawannnya untuk memiliki komitmen terhadap visi organisasi dan mendukung semangat team dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan di sekolah.
  3. Intellectual Stimulation: kepala sekolah dapat menumbuhkan kreativitas dan inovasi di kalangan guru dan stafnya dengan mengembangkan pemikiran kritis dan pemecahan masalah untuk menjadikan sekolah ke arah yang lebih baik.
  4. Individual consideration: kepala sekolah dapat bertindak sebagai pelatih dan penasihat bagi guru dan stafnya.
Berdasarkan hasil kajian literatur yang dilakukan, Northouse (2001) menyimpulkan bahwa seseorang yang dapat menampilkan kepemimpinan transformasional ternyata dapat lebih menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh karena itu, merupakan hal yang amat menguntungkan jika para kepala sekolah dapat menerapkan kepemimpinan transformasional di sekolahnya.
Karena kepemimpinan transformasional merupakan sebuah rentang yang luas tentang aspek-aspek kepemimpinan, maka untuk bisa menjadi seorang pemimpin transformasional yang efektif membutuhkan suatu proses dan memerlukan usaha sadar dan sunggug-sungguh dari yang bersangkutan. Northouse (2001) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan transformasional, yakni sebagai berikut:
  1. Berdayakan seluruh bawahan untuk melakukan hal yang terbaik untuk organisasi
  2. Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai yang tinggi
  3. Dengarkan semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat kerja sama
  4. Ciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi
  5. Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan contoh bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan
  6. Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi terhadap organisasi
Sumber:
Adaptasi dari :
John Hall, et.al. 2002. Transformational Leadership: The Transformation of Managers and Associates.